Aku terdiam membisu
Mendengar Kedatanganmu
Aku takut akan kekuatanmu
Maafkan kami belum siap untuk menerima ini
Darah dimana-mana
Engkau sangat kejam
Dengan matamu yang merah
Tolong Jangan sakiti kami
taufik azis
Aku terdiam membisu
Mendengar Kedatanganmu
Aku takut akan kekuatanmu
Maafkan kami belum siap untuk menerima ini
Darah dimana-mana
Engkau sangat kejam
Dengan matamu yang merah
Tolong Jangan sakiti kami
taufik azis
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Pengarang: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
lanjut baca
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948)
Siasat,
Th III, No. 96
1949
chairil anwar
meskipun kurang jelas
ia masih ingat bahwa
tempat ia bermaun
sesama kanak-kanak
lalah plaza yang kini
diapit jalan itu
sehingga sukar baginya
untuk membayangkan kembali
bagaimana ia bisa
mengembalakan domba-dombanya
di tangah-tengah
jalan raya
karya: Eka Budiman
🙂
pagi bening begini hening
di tepi rawa pening
betapa senang memancing
plung kelempar kail berumpan cacing
cuma sebentar
ikan telah menyambar
tersangkut di ujung pancing menggelepar
di pangkal siang ikan-ikan lapar
siapa tak betah
terlingkung gunung sangat indah
ya ilahi kau beri juga aku hiburan hari ini
di setengah lembah begini sepi
Abadi kerinduan
Kepada yang slalu bukan
Nurani sendiri Tak terpegang
Tuhan ngumpet di kebisuan
Badan akan habis
lanjut baca